• About me

    Salam hormat,
    Nama saya ADITYA KURNIAWAN,SH . Saya dilahirkan di Banajrnegara pada tanggal 19 Juni 1983. Pekerjaan saya adalah sebagai anggota Polri berpangkat Ajun Komisaris Polisi dan saat ini saya sedang melanjutkan pendidikan di Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian - PTIK sebagai mahasiswa angkatan LVII.

    Istri saya tercinta bernama THREENA SAVAYONA, SE,MM dan kami telah dikaruniai seorang putri bernama MICHELLA ASHALINA PUTRIADITYA yang saat ini berumur 2,5 tahun.

    Saya menghabiskan masa sekolah saya di Semarang. Saya bersekolah di SD Sompok 03 Semarang, SLTP 2 Semarang dan SMU 3 Semarang lulusan tahun 2001.
    Setelah lulus dari SMU, saya melanjutkan pendidikan di Akademi Kepolisian pada tahun 2001 sampai akhirnya lulus pada tahun 2004. Nama Batalyon saya saat itu adalah TATAG TRAWANG TUNGGA.
    Setelah menyelesaikan pendidikan di Akademi Kepolisian, saya ditempatkan di Polda Sumatera Selatan. Pertama kali saya bertugas di Polres Ogan Ilir yang merupakan pemekaran Kabupaten Ogan Komering Ilir. Setelah kurang lebih satu tahun bertugas disana, saya dipindah tugaskan di Poltabes Palembang sebagai Kanit Reskrim Polsekta Sungai Gerong. Setelah 8 bulan bertugas, saya dipindah tugaskan kembali sebagai Kanit Reskrim Polsekta Sukarami Poltabes Palembang selama 1,5 tahun.
    Perjalanan tugas saya berlanjut lagi sebagai Kapolsek Indralaya Polres Ogan Ilir selama 1 tahun. Indralaya merupakan ibukota Kabupaten Ogan Ilir yang merupakan tempat tugas saya pertama kali.
    Setelah satu tahun menjadi Kapolsek Indralaya saya dipindah tugaskan kembali sebagai Kapolsek Talang Kelapa Polres Banyuasin. Saya menjabat sebagai Kapolsek Talang Kelapa hanya selama 6 bulan karena saya harus melanjutkan pendidikan di STIK-PTIK Jakarta.
    Blog ini saya buat sebagai sarana untuk berbagi tentang kajian-kajian yang saya pelajari di STIK-PTIK terhadap peristiwa yang terjadi di masyarakat. Selain itu saya memanfaatkan Blog ini sebagai sarana belajar untuk membuat suatu tulisan.
    Regards

  • Calendar

    April 2024
    S S R K J S M
    1234567
    891011121314
    15161718192021
    22232425262728
    2930  

Untukmu Pahlawan Tri Brata

Sepenggal kisah perjuangan…….

Meniupkan tanda kesejatian sebuah pengabdian…

Merambah pertiwi laksana pelangi bentangkan permadani…

Sejukmu memberiku nyata makna kehormatan, tiada berhingga…

 

Tak jauh mata memandang…

tak jauh telinga mendengar…

Tak pudar dalam jiwa…

Tak pernh henti sirna berucap…

Tak pernah luluh oleh langkah masa…

Dan tak hilang rasa mekarkan nuraniku…

Semuanya…tak cukup hanya dengan sedihku…

Tak cukup dengan kenang dukamu…

Tak cukup ku berbuat bagimu…

Sungguh tak cukup pendam jiwa ini tebarkan arti dari semuanya….

 

Kini dan teruntuk hari ini…

Malam kan kubuat gemilang…

Siang kan kukibarkan pesona…

Gemilang sejati teriakkan jiwamu…

Janji ku pun teruntaikan…

Pesona tangguhmu takkan lenyap oleh masa…kini, esok dan mendatang…

 

Biarkan masa lalu berlalu di pelupuk mata…

Biarkan pintumu lewati batas nantiku…

Dan biarkan tapak kakimu tinggalkan kami seiring duka mendalam…

Esok, tangis kami tak kan terderai…

Esok pun, lembaran kami takkan terkoyak..

Karena kami yakin padamu Tuhan…

Pahlawan Ku menantiku…

Pahlawan Tri Brata kan terangi langkah perjuanganku…

 

Begitu banyak masa bernada lirih…

Demikian lusuh genggam dalam bangkai aura teguh abadimu…

Tapi..tak akan pernah luruh kami mengikuti langkahmu…

Tak akan pernah sirna kami mengibarkan panji benderamu…

Tak  akan pernah padam kami cahayakan semangat abdimu…

 

Ya Tuhan Kami… Sang Maha Pencipta …

Berikanlah sinar bagi pahlawanku…

Berkahi perjuangan dan wariskan itu kepada kami tuk gelorakan selalu kepahlawanan Mereka…

Mekarkan kepada kami bunga-bunga ketulusan dan ikhlas bagi bangsa kami..

Yang tak pernah tenggelam zaman….

Yang senantiasa terbang membuai nusantara di atas gemilang POLRI ini…

 

Untukmu selalu Pahlawanku…

Bagimu Pahlawan Kami…

Semua tunai yang tulus terikrar …

Membawa dalam obor jiwa kami…

Membawa dalam tumpah ruah seruan kami…

Membawa dalam tumpah ruah seruan kami..

Tak henti hormat dan doa ku hantarkan selalu…

Tuk alirkan darah membasahi ibu pertiwi…

Tuk hempaskan pedang kehormatanmu….

Dan tuk pastikan, bahwa Engkaulah garis depan penantian tugas kami…

Hanya untukmu selalu…Pahlawanku…

 

 

(By : Mihardi Mirwan / Akpol Yon TTT – 2004)

Mengenang Pahlawan Polri yang gugur di Papua…

 

KENAKALAN REMAJA DALAM BENTUK BALAPAN LIAR DI WILAYAH HUKUM POLRESTA PALEMBANG

BAB I

PENDAHULUAN

  1. 1.             Latar Belakang Permasalahan

 

“AKSI kebut-kebutan alias balapan liar di Palembang marak lagi. Yang mencengangkan, aksi ini bukan sekadar kebut-kebutan. Namun sudah berbau judi. Demikian yang terungkap dari hasil razia Kapolsekta Sukarami AKP FX Irwan Arianto SIK, Sabtu malam lalu di kawasan Jalan Tanjung Api-Api. “Saat merazia aksi balapan itu ada 60 mobil yang kita giring ke Polsek untuk diperiksa. Ada delapan kendaraan yang kita amankan, empat di antaranya yang saat ini diparkir di depan polsek dan empat lainnya karena para pengendaranya tidak mempunyai SIM,” imbuh Irwan.
Menurutnya, kendaraan-kendaraan mewah yang digunakan dalam balapan liar itu di antaranya buatan tahun 2007 dan 2008. Di antara mereka yang tertangkap terdapat beberapa anak pejabat di tingkat provinsi dan kabupaten.” (dikutip dari
http://palembang.tribunnews.com/13/01/2009/ terungkap-lewat-sms)

 

Melihat pemberitaan di atas, ironis memang apabila kita melihat perkembangan remaja di Indonesia. Masa remaja memang merupakan masa yang rentan terhadap perbuatan-perbuatan yang tidak baik bahkan dalam beberapa tahun terakhir, jumlah kejahatan yang terjadi semakin meningkat. Ironisnya, sebagian besar pelaku kejahatan tersebut adalah kalangan remaja. Masa remaja merupakan masa transisi, dimana usianya berkisar antara 13 sampai 18 tahun atau yang biasa disebut dengan usia belasan yang tidak menyenangkan, dimana terjadi juga perubahan pada dirinya baik secara fisik, psikis, maupun secara sosial.  Remaja saat ini lebih menuruti ego daripada memikirkan keselamatannya, hanya didasari rasa iseng atau persaingan untuk memperoleh sesuatu hal, mengadu kecepatan kendaraan yang dimilikinya, berebut pacar, atau uang yang dipertaruhkan sebagai tujuan kegiatan balapan liar tersebut.  Disadari atau tidak kenakalan remaja tersebut merupakan suatu perilaku yang menyimpang dari norma-norma hukum yang dilakukan oleh remaja. Perilaku tersbut akan merugikan dirinya sendiri dan juga orang lain. Pada pemberitaan di atas, balapan liar tersebut justru dilakukan anak remaja yang berasal dari “keluarga terhormat”, dimana sebagian besar orang tua mereka adalah pimpinan daerah maupun pejabat pemerintahan.  Kenakalan remaja secara umum dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu :

Faktor internal:

  1. Krisis identitas. Perubahan biologis dan sosiologis pada diri remaja memungkinkan terjadinya dua bentuk integrasi. Pertama, terbentuknya perasaan akan konsistensi dalam kehidupannya. Kedua, tercapainya identitas peran. Kenakalan ramaja terjadi karena remaja gagal mencapai masa integrasi kedua.
  2. Kontrol diri yang lemah. Remaja yang tidak bisa mempelajari dan membedakan tingkah laku yang dapat diterima dengan yang tidak dapat diterima akan terseret pada perilaku ‘nakal’. Begitupun bagi mereka yang telah mengetahui perbedaan dua tingkah laku tersebut, namun tidak bisa mengembangkan kontrol diri untuk bertingkah laku sesuai dengan pengetahuannya.

Faktor eksternal:

  1. Keluarga Perceraian orangtua, tidak adanya komunikasi antar anggota keluarga, atau perselisihan antar anggota keluarga bisa memicu perilaku negatif pada remaja. Pendidikan yang salah di keluarga pun, seperti terlalu memanjakan anak, tidak memberikan pendidikan agama, atau penolakan terhadap eksistensi anak, bisa menjadi penyebab terjadinya kenakalan remaja.
  2. Teman sebaya yang kurang baik
  3. Komunitas/lingkungan tempat tinggal yang kurang baik.

Menurut Paul Moedikdo,S.H., kenakalan remaja itu sendiri adalah Semua perbuatan yang dari orang dewasa merupakan suatu kejahatan bagi anak-anak merupakan kenakalan jadi semua yang dilarang oleh hukum pidana, seperti mencuri, menganiaya dan sebagainya ;  Semua perbuatan penyelewengan dari norma kelompok tertentu untuk menimbulkan keonaran dalam masyarakat ; Semua perbuatan yang menunjukkan kebutuhan perlindungan bagi sosial. Fenomena kenakalan remaja yang terjadi di Palembang kemungkinan bisa terjadi akibat adanya faktor-faktor seperti pada pembahasan di atas.

 

  1. 2.             Rumusan permasalahan

 

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas, maka permasalahan yang akan dibahas adalah “Bagaimana balapan liar merupakan suatu kenakalan remaja dan upaya penanggulangannya dalam perspektif Social Control Theory, Labelling Theory dan Reintegrative Shaming Theory?”.

Berdasarkan permasalahan ini, kemudian penulis dapat mengidentifikasi ke dalam poko-pokok persoalan yang akan dibahas, yaitu :

  1. Bagaimana balapan liar yang terjadi merupakan salah satu bentuk kenakalan remaja yang terjadi di wilayah hukum Polresta Palembang?
  2. Upaya apa yang perlu dilakukan untuk mencegah balapan liar tersebut menurut analisa Reintegrative Shaming Theory?

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

LANDASAN TEORITIS

  1. 1.             Social Bonds Theory (teori ikatan sosial)

 

Menurut teori ini diasumsi bahwa semua orang memiliki potensial untuk melakukan penyimpangan dan tindakan kriminal, namun penyimpangan tersebut dapat dihambat atau dihentikan dengan adanya ikatan-ikatan sosial yang berada di dalam lingkungan individu maupun ikatan-ikatan sosial yang berasal dari luar individu. Menurut Travis Hirschi terdapat beberapa elemen dasar dalam social bonds theory

  1. a.             Attachment

Attachment berkaitan dengan kedekatan individu dengan lingkungannya sehingga seseorang dapat menghayati nilai dan norma yang ada di lingkungannya tersebut. Semakin tinggi attachment, maka semakin rendah kemungkinan seseorang untuk bertindak menyimpang.

 

  1. b.             Commitment

Berkaitan dengan keberadaan seseorang dalam masyarakatnya, sehingga apabila seseorang dianggap sebagai bagian penting dari lingkungannya maka potensi seseorang untuk berperilaku menyimpang menjadi rendah.

 

  1. c.              Involvement

Berkaitan dengan kuantitas seseorang dalam mengikuti kegiatan yang berada di lingkungannya, dimana semakin sering intensitas seseorang untuk mengikuti kegiatan di dalam masyarakat akan menambah pemahaman terhadap norma dan nilai di lingkungan tersebut sehingga mencegah seseorang untuk berperilaku menyimpang.

 

  1. d.             Belief

Merupakan aspek moral yang terdapat dalam ikatan social, beliefs merupakan kepercayaan seseorang pada nilai-nilai moral yang ada. Kepercayaan seseorang terhadap norma-norma yang ada akan menimbulkan kepatuhan terhadap norma tersebut yang tentunya dengan kepatuhan tersebut akan mengurangi hasrat seseorang untuk melanggar.

Keempat komponen tersebut menurut Hirschi harus terbentuk dalam masyarakat, apabila hal itu gagal maka para remaja akan menggunakan haknya untuk melanggar.

 

  1. 2.             Reintegrative Shaming Theory

 

Teori ini dikemukakan oleh Braithwaite yang didasarkan pada pemikiran pengendalian kejahatan (crime control) adalah ikatan budaya yang memberikan rasa malu (shaming) kepada pelakunya dengan diikuti dengan upaya-upaya reintegrasi. Dalam pandangan teori tersebut pemberian sanksi yang berasal dari teman atau kelompoknya dinilai lebih efektif dibandingkan dengan sanksi secara formal. Karakteristik Reintegrative Shaming menurut Braithwaite (1996;2) adalah jika masyarakat:

  1. Menolak atau mencela tingkah laku jahat, memuji atau mendukung perilaku baik.
  2. Memiliki formalitas yang menyatakan tingkah laku seseorang jahat atau menyimpang, yang diakhiri dengan menyatakan orang tersebut sudah dimaafkan.
  3. Memberikan hukuman atau pencelaan tanpa proses labelling.
  4. Tidak menjadikan kesalahan atau penyimpangan atau kejahatan sebagai dari status utama (master status trait).

 

  1. 4.             Konsep Kenakalan Remaja

 

Istilah yang sering digunakan dalam kenakalan remaja adalah Juvenile DeliquencY. Dalam konvensi hak-hak anak, pengertian tentang anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 tahun, kecuali berdasarkan yang berlaku bagi anak tersebut ditentukan bahwa usia dewasa dicapai lebih awal. Sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, yang dimaksud dengan anak nakal adalah anak yang melakukan tindak pidana atau anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan, menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku bagi masyarakat yang bersangkutan. Memahami tentang perilaku remaja harus dilihat dari berbagai pandangan, yaitu :

 

 

  1. a.             Dimensi biologis

Pada saat seorang anak memasuki masa pubertas yang ditandai dengan menstruasi pertama pada remaja putri ataupun perubahan suara pada remaja putra, secara biologis hal tersebut memberikan pengaruh yang sangat besar.

 

  1. b.             Dimensi kognitif

Perkembangan kognitif remaja dalam pandangan Jean Piaget merupakan periode terakhir dan tertinggi dalam tahap pertumbuhan operasi formal (period of formal operations). Pada periode ini, para remaja sudah memiliki pola pikir sendiri dalam usaha memecahkan masalah-masalah yang kompleks dan abstrak. Kemampuan berpikir remaja menjadi berkembang sedemikian rupa sehingga mereka dengan mudah dapat membayangkan banyak alternatif pemecahan masalah.

 

  1. c.              Dimensi moral

Masa remaja adalah periode dimana seseorang mulai bertanya-tanya mengenai berbagai fenomena yang terjadi di lingkungan sekitarnya sebagai dasar bagi pembentukan nilai diri mereka. Elliot Turiel (1978) menyatakan bahwa para remaja mulai membuat penilaian sendiri dalam menghadapi masalah-masalah yang populer yang berkenaan dengan lingkungan mereka.

 

  1. d.             Dimensi psikologis

Masa remaja merupakan masa yang penuh gejolak. Pada masa ini mood (suasana hati) bisa berubah dengan sangat cepat. Hasil penelitian di Chicago oleh Mihalyi Csikszentmihalyi dan Reed Larson (1984) menemukan bahwa remaja rata-rata memerlukan waktu 45 menit untuk berubah dari mood “ senang luar biasa” ke “sedih luar biasa”, sementara orang dewasa memerlukan waktu beberapa jam untuk hal yang sama. Remaja cenderung untuk menganggap diri mereka sangat unik dan bahkan percaya keunikan mereka akan berakhir dengan kesuksesan dan ketenaran. Remaja putri akan bersolek berjam-jam di hadapan cermin karena ia percaya orang akan melirik dan tertarik pada kecantikannya, sedang remaja putra akan membayangkan dirinya dikagumi oelh lawan jenisnya jika ia terlihat unik dan hebat.

 

 

Memahami Fotografi

MENGENAL FOTOGRAFI DAN KAMERA


Fotografi


Fotografi ( Photography ) berasal dari kata Foto ( Cahaya ) dan Graphia ( menulis / menggambar ), sehingga dapat diartikan bahwa fotografi adalah suatu teknik menggambar dengan cahaya. Atas dasar tersebut, jelas bahwa cahaya sangat berperan penting dan menjadi sumber utama dalam memperoleh gambar

Kamera

¨Kamera SLR ( Single Lens Reflex ) atau D-SLR ( Digital ) merupakan kamera dengan jendela bidik ( viewfinder ) yang memberikan gambar sesuai dengan sudut pandang lensa melalui pantulan cermin yang terletak di belakang lensa. Pada umumnya kamera biasa memiliki tampilan dari jendela bidik yang berbeda dengan sudut pandang lensa karena jendela bidik tidak berada segaris dengan sudut pandang lensa.
Shutter Speed

¨Shutter speed atau kecepatan rana merupakan kecepatan terbukanya jendela kamera sehingga cahaya dapat masuk ke dalam image sensor. Satuan daripada shutter speed adalah detik, dan sangat tergantung dengan keadaan cahaya saat pemotretan. Semisal cahaya terang pada siang hari, maka shutter speed harus disesuaikan menjadi lebih cepat, semisal 1/500 detik. Sedangkan untuk malam hari yang cahayanya lebih sedikit, maka shutter speed harus disesuaikan menjadi lebih lama, semisal 1/5 detik. Hal ini sekaligus menjelaskan mengapa foto pada malam hari cenderung buram, bahwa shutter speed yang lebih lambat memungkinkan pergerakan kamera akibat getaran tangan menjadikan cahaya bergeser sehingga foto menjadi buram / blur.
Aperture
Aperture atau diafragma merupakan istilah untuk bukaan lensa. Apabila diibaratkan sebagai jendela, maka diafragma adalah kiray / gordyn yang dapat dibuka atau ditutup untuk menyesuaikan banyaknya cahaya yang masuk
Model Pemotretan Kamera
Av= Aperture Value Priority
Pada mode ini aperture dapat diatur sesuai dengan kehendak, namun shutter speed akan mengimbangi secara otomatis akan kebutuhan cahaya sesuai dengan besar aperture.
Tv= Time Value Priority
Pada mode ini shutter speed dapat diatur sesuai dengan kehendak, namun aperture akan mengimbangi secara otomatis kebutuhan cahaya yang sesuai dengan shutter speed.
P= Program
Pada mode ini baik aperture maupun shutter speed akan mengkalkulasi secara otomatis sesuai dengan kebutuhan cahaya, hanya saja pada mode ini tingkat exposure dapat diatur sesuai dengan kehendak.
¨Auto
Mode auto merupakan mode dimana kamera secara penuh mengatur akan segala kebutuhan pengaturan, dengan kata lain pada mode ini fotografer tinggal “jepret” saja.
Portrait
Mode ini merupakan pencabangan mode full auto, namun lebih disesuaikan dengan kebutuhan portrait ( foto manusia ), seperti penggunaan tonal warna untuk skin tone, dsb.
Landscape
Mode ini merupakan pencabangan mode full auto, namun lebih disesuaikan dengan kebutuhan foto pemandangan ( landscape), seperti tone warna yang lebih vivid atau lain sebagainya
Macro
Mode ini merupakan pencabangan mode full auto, namun lebih disesuaikan dengan kebutuhan foto macro ( jarak dekat sehingga objek tampak lebih besar ), seperti fokus lensa yang lebih disesuaikan.
Moving Object
Mode ini merupakan pencabangan mode full auto, namun lebih disesuaikan dengan kebutuhan pemotretan objek yang bergerak, sehingga fokus lensa akan lebih cepat bergerak menyesuaikan dengan pergerakan objek.
¨Night Scene
Mode ini merupakan pencabangan mode full auto, namun lebih disesuaikan dengan kebutuhan foto pada malam hari.

No Flash
Mode ini merupakan pencabangan mode full auto, namun apabila pada mode auto lainnya built in flash akan otomatis pop up apabila cahaya dirasa kurang, pada mode ini built in flash tidak akan menyala sama sekali, sehingga shutter speed dan aperture akan lebih berperan untuk mengimbangi kebutuhan cahaya

Depth of Field (DOF)

Depth of field atau sering disingkat menjadi DOF merupakan salah satu teknik fotgrafi yang paling dasar. Setiap foto memiliki kedalaman ( depth ) yang terbagi atas foreground ( depan ) dan background ( belakang ). Fokus pada lensa kamera dapat dikendalikan atau diarahkan pada objek tertentu. Pengendalian Depth of Field berguna untuk membatasi fokus pada foto dan lebih memberi kesan hidup pada foto.

Freeze

¨Setelah memahami DOF yang berkaitan dengan aperture, kali ini akan dijelaskan tentang freeze, dimana sangat berkaitan erat dengan shutter speed. Foto freeze bertujuan untuk mengabadikan suatu moment dengan gerakan cepat sehingga dapat tertangkap oleh kamera sebagai gambar diam, seperti foto tetesan air, ledakan, atau foto ketika orang sedang melompat dan lain sebagainya. Yang paling utama dalam mendapatkan foto freeze adalah mengatur shutter speed secepat mungkin ( misal 1/500 detik, 1/1000 detik, hingga 1/8000 detik ). Karena tuntutan shutter speed yang cepat, maka tentunya cahaya yang dibutuhkan sangat banyak, maka dari itu biasanya foto freeze amatir lebih banyak dilakukan di ruang terbuka pada siang hari dimana cahaya matahari bersinar terang. Bukan tidak mungkin untuk memperoleh foto freeze pada malam hari atau cahaya yang minim, namun peralatan pendukung mutlak diperlukan seperti flash atau bahkan lampu studio dengan kecepatan singkronisasi yang tinggi pula



EFEKTIVITAS PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP DI LUAR PENGADILAN

  1. I.             PENDAHULUAN

 

  1. A.        Latar Belakang

 

Masalah lingkungan semakin lama semakin besar, meluas dan serius. Pada mulanya masalah lingkungan hidup adalah masalah yang timbul secara alami, yakni peristiwa-peristiwa yang terjadi sebagai bagian dari proses natural. Proses natural ini terjadi tanpa menimbulkan akibat yang berarti bagi tata lingkungan itu sendiri dan dapat pulih kemudian secara alami. Akan tetapi saat ini masalah lingkungan tidak lagi dapat dikatakan sebagai masalah yang alami, karena manusia menjadi faktor utama penyebab terjadinya masalah lingkungan.

Lingkungan hidup merupakan media timbal balik antara mahluk hidup dengan benda mati yang merupakan satu kesatuan yang utuh, dimana manusia terdapat di dalamnya. Menurut Otto Soemarwoto, sifat lingkungan hidup ditentukan oleh bermacam-macam faktor. Pertama, oleh jenis dan jumlah masing-masing jenis unsur lingkungan hidup tersebut. Kedua, hubungan atau interaksi antara unsur dalam lingkungan hidup itu. Ketiga, kelakuan atau kondisi unsur lingkungan hidup. Keempat, faktor non material suhu, cahaya, dan kebisingan[1]. Pada persoalan lingkungan saat ini, seperti pemcemaran, kerusakan sumber daya alam, penyusutan cadangan-cadangan hutan, musnahnya berbagai jenis spesies hayati bahkan jenis-jenis penyakit yang berkembang saat ini, diyakini merupakan gejala negatif yang secara dominan bersumber dari faktor manusia itu sendiri.

Dari lingkungan hidup, manusia, hewan dan tumbuhan bisa memperoleh daya atau tenaga. Manusia memperoleh kebutuhan primer, kebutuhan sekunder atau bahkan memenuhi kebutuhannya sendiri berupa hasrat atau keinginan. Setiap kegiatan manusia baik dalam riak kecil maupun riak yang lebih besar, dalam langkah yang insidentil maupun rutin, selalu akan mempengaruhi lingkungannya. Sebaliknya, manusia tidak akan lepas pula dari pengaruh lingkungan baik yang datang dari alam sekitarnya, dari hubungan dengan individu maupun hubungan dengan masyarakat.

Masalah lingkungan timbul sebagai akibat adanya ketidakseimbangan diantara komponen-komponen lingkungan hidup. Sebagai contoh apa yang pernah terjadi di Serawak, ketika daerah itu terkena wabah penyakit malaria. Untuk menghadapi wabah tersebut pemerintah melancarkan operasi penyemprotan nyamuk malaria dengan menggunakan DDT yang berakibat matinya spesies lain yang tidak menjadi sasaran dalam operasi tersebut. Pencemaran lingkungan semakin diperparah dengan lahirnya Revolusi Industri tatkala pencemaran berasal dari pabrik-pabrik, pertanian dan transportasi di negara maju. Prof. Emil Salim mengamati masalah lingkungan hidup kini tampil dalam dua hal utama yaitu :

  1. Adanya perkembangan teknologi
  2. Ledakan penduduk

Peranan dunia secara global terhadap perkembangan asas-asas pengelolaan lingkungan dan pembangunan sangat penting artinya bagi pengembangan hukum, baik secara internasional maupun secara nasional. Setelah berlangsungnya beberapa Konferensi dunia tentang lingkungan hidup seperti Konferensi Stockholm tahun 1972 dan KTT Rio tahun 1992 memberikan pengaruh besar kepada negara Indonesia dalam merumuskan produk perundangan di bidang lingkungan hidup. Undang-Undang tersebut diawali dengan UU No.4 tahun 1982 tentang Ketentuan Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (UPLH 1982), yang kemudian dikembangkan lagi menjadi UU  No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Agar lebih menjamin kepastian hukum dan lebih memberikan perlindungan terhadap hak setiap orang untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari perlindungan keseluruhan ekosistem, dilakukan pembaruan terhadap UU No. 23 tahun 1997 menjadi UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Dalam UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup pasal 84 ayat (1) diatur tentang  penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan yakni melalui metode ADR (Alternative Dispute Resolution), dimana metode ini merupakan suatu tindakan penyelesaian sengketa lingkungan hidup yang dianggap lebih cepat dan efisien dibandingkan dengan penyelesaian sengketa lingkungan hidup melalui pengadilan.

  1. B.        Perumusan Masalah

 

Dari uraian di atas, penulis mencoba membuat pokok permasalahan yang akan diangkat dalam makalah mengenai metode ADR ( Alternative Despute Resolution) ini, yaitu :

  1. Bagaimana penerapan penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan dengan menggunakan metode ADR ( Alternative Despute Resolution)?
  2. Bagaimana keefektifan metode ADR dalam penyelesaian sengketa lingkungan hidup?
  1. II.            PEMBAHASAN

 

  1. A.        Penerapan Metode Alternative Dispute Resolution di Indonesia

Penyelesaian sengketa di luar pengadilan dengan metode ADR( Alternative Dispute Resolution ) sebenarnya sudah lama dikenal khususnya di Amerika Serikat. Sama halnya  di negara Indonesia dimana metode penyelesaian di luar pengadilan juga lebih diharapkan oleh masyarakat daripada menggunakan penyelesaian sengketa lingkungan hidup dengan melalui jalur pengadilan. Hal ini disebabkan masyarakat banyak kurang puas dengan penyelesaian melalui jalur pengadilan, bukan karena masyarakat kurang puas terhadap keputusan hakim dalam menilai suatu perkara, namun lebih disebabkan kepada proses pengadilan yang berkepanjangan dan membutuhkan biaya yang tinggi.

Di Amerika Serikat misalnya, pembicaraan mengenai ADR ini dilakukan secara intensif mulai pada tahun 1976, antara lain adanya tulisan Prof. Frank Sander tentang “ Varieties of Dispute Resolution” (Jacqueline M. Nolan Haley, 1991:5). Idenya kemudian dipelajari dan berkembang serta masuk dalam sistem hukum Amerika Serikat [2]. Di negara Indonesia metode ADR juga dimasukkan ke dalam sistem hukum negara yaitu pada pasal 84 Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Yang menjadi latar belakang dan sekaligus tujuan munculnya mekanisme alternatif penyelesaian sengketa lingkungan hidup ini adalah :

(a)          Mengurangi penumpukan perkara di pengadilan (court congestion). Banyaknya kasus yang diajukan ke pengadilan mengakibatkan proses peradilan menjadi panjang, memakan waktu dan biaya serta hasilnya belum tentu memuaskan.

(b)          Meningkatkan keterlibatan masyarakat dalam proses penyelesaian sengketa. Penyelesaian yang hanya melalui pengadilan membuat masyarakat tidak memiliki kesempatan untuk menyelesaikan sengketa mereka sendiri secara memuaskan.

(c)          Memperlancar dan memperluas akses kepada keadilan (access to justice).

(d)          Memberi kesempatan bagi tercapainya penyelesaian sengketa yang menghasilkan keputusan yang dapat diterima oleh semua pihak.

Dengan diterapkannya metode ADR dalam penyelesaian sengketa lingkungan hidup dapat dilaksanakan dengan cepat dan dengan biaya yang relatuf murah. Yang terpenting adalah tuntutan masyarakat ( ganti kerugian) bisa cepat diperoleh, pemulihan lingkungan lebih cepat dilaksanakan dan menjunjung tinggi prinsip win-win solution.

  1. B.        Bentuk-Bentuk ADR

Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan sebagaimana diatur dalam pasal 84, 85 dan 86 Undang-Undang No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup diselenggarakan antara lain untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan atau mengenai tindakan tertentu guna menjamin tidak terulangnya dampak negatif terhadap lingkungan hidup. Dalam pasal 85 UU No. 32 tahun 2009 sangat dijelaskan mengenai hal tersebut.

Bentuk bentuk Alternative Dispute Resolution yang dilaksanakan di sistem hukum Negara Indonesia adalah sebagai berikut :

(a)          Negosiasi

Negosiasi secara umum dapat diartikan sebagai satu upaya penyelesaian sengketa oleh para pihak tanpa melalui proses peradilan. Dengan tujuan mencapai kesepakatan bersama atas dasar kerja sama yang lebih harmonis dan kreatif [3]. Dengan demikian negosiasi adalah proses tawar menawar yang bersifat konsensus yang di dalamnya para pihak berusaha memperoleh atau mencapai persetujuan tentang hal-hal yang disengketakan atau yang berpotensi menimbulkan sengketa. Para pihak yang bersengketa berhadapan langsung secara seksama dalam mendiskusikan permasalahan yang mereka hadapi secara korporatif dan saling terbuka. Meskipun sederhana, negosiasi adalah suatu keterampilan yang bersifat mendasar yang dibutuhkan oleh para lawyer. Negosiasi baik yang bersifat tranksional (transactional negotiation) maupun dalam konteks penyelesaian sengketa (dispute negotiation), tidak hanya sekedar sebuah proses yang bersifat intuitive, melainkan proses yang harus dipelajari, perlu pengetahuan, strategi dan keterampilan tertentu. Menurut Suparto Wijoyo, bahwa negosiasi ini bersifat informal, tidak terstruktur, dan waktunya tidak terbatas.

Dalam penyelesaian sengketa lingkungan hidup dengan negosiasi bisa saja unsur-unsur hukum tidak dipersoalkan, asalkan proses negosiasi tersebut mampu diselesaikan dengan baik dan saling menguntungkan antara kedua belah pihak. Sukses atau tidaknya sebuah negosiasi tergantung oleh tujuan kedua pihak yang bersengketa, yang tentunya negosiasi tersebut akan mengalami kendala apabila salah satu pihak tidak memahami pentingnya negosiasi sehingga hanya menonjolkan hak-hak masing masing pihak. Selain berhadapan secara langsung antara kedua belah pihak, pada suatu keadaan tertentu masih tetap diperlukan perlunya orang ketiga yang memahami negosiasi sehingga hasil negosiasi justru tidak merugikan/menguntungkan salah satu pihak. Dalam proses bernegosisasi setidaknya ada 3 (tiga) aspek dalam proses negosiasi, untuk tercapainya sebuah negosiasi yang dilakukan oleh negosiator adalah sebagai berikut :

(1)       Culture

Budaya antar bangsa yang berlainan , perbedaan budaya tersebut mencakup pula pada kebiasaan,  pada masyarakat barat hukum diartikan ( right),  dan di masyarakat timur, seperti Cina yang mempunyai akar Confucius ,  hukum di anggap insturumen untuk menjaga ketertiban

(2)       Legal

Setiap negosiator mutlak memahami peraturan perundang-undangan berkenaan sengketa yang coba  untuk diselesaikan. Mungkin ada peraturan perundang-undangan yang merupakan Public Policy, selanjutnya negosiator harus memahami instrument hukum   yang dapat di gunakan sebagai tanda tercapainya penyelesaian sengketa nantinya, umpamanya perlu nantinya di perkuat keputusan hakim

(3)       Practical

Pada aspek ini mutlak perlu bagi negosiator untuk menetapkan target maksimal dan minimal yang hendak dicapai dalam perundingan  untuk menyelesaikan sengketa yang ada.

Contoh kasus yang pernah dialami oleh penulis pada saat bertugas adalah sengketa lingkungan hidup antara PT Sumatra Prima Fibreboard (SPF) di Kabupaten Ogan Ilir Propinsi Sumatra Selatan dengan masyarakat desa Palem Raya yang dapat diselesaikan dengan negosiasi antara kedua pihak.

Hal terpenting lainnya sehingga penyelesaian sengketa lingkungan hidup dapat terlaksana dengan baik adalah tidak adanya pengingkaran dari salah satu pihak terhadap hasil negosiasi. Pengingkaran baik seluruh atau sebagian kesepakatan akan mengakibatkan kegagalan negosiasi yang dapat berakhir dengan terjadinya konflik. Karena itu disamping negosiasi, untuk penyelesaian sengketa lingkungan hidup perlu juga dijajaki bentuk-bentuk ADR yang lainnya seperti mediasi dan arbitrase. Kedua bentuk ini adalah perundingan dengan menggunakan bantuan dari pihak ketiga yang sifatnya netral.

(b)         Mediasi

Mediasi dalam bahasa Inggris disebut mediation adalah penyelesaian sengketa dengan menengahi. Orang yang menjadi penengah disebut mediator. “ Mediation is private , informal dispute resolution process in which a neutral third person, the mediator, helps disputing parties to reach an agreement. The mediator has no power to impose a decission on the parties (Hendry Campbell Black)[4]. Dalam penyelesaian sengketa lingkungan hidup, apabila antara kedua pihak tidak dapat menyelesaikan sendiri sengketa yang mereka hadapi, mereka dapat menggunakan pihak ketiga yang netral untuk membantu mereka mencapai persetujuan atau kesepakatan. Mediasi sendiri diatur dalam Pasal 6 ayat (3), (4) dan (5) UU No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Umum. Di dalam mediasi, seorang mediator mempunyai 2 macam peran yang dilakukan, yaitu pertama, medaitor berperan pasif. Hal ini berarti para pihak sendiri yang lebih aktif untuk menyelesaikan permasalahan yang mereka hadapi sehingga peran mediator hanya sebagai penengah, mengarahkan penyelesaian sengketa, dsb. Kedua, mediator berperan aktif. Hal ini berarti mediator dapat melakukan berbagai tindakan seperti merumuskan dan mengartikulasi titik temu untuk mendapatkan kesamaan pandangan dan memberikan pengertian kepada kedua belah pihak tentang penyelesaian sengketa. Dengan demikian seorang mediator diharapkan dapat menyelesaikan permasalahan tersebut karena kedua pihak yang bersengketa bersifat menunggu.

Dari uraian di atas dapat disampaikan disini bahwa ciri-ciri dan syarat penyelesaian sengketa lingkungan hidup melalui mediasi adalah :

Ciri-ciri :

(1)       Perundingan dengan bantuan pihak ketiga yang netral.

(2)       Pihak ketiga netral tersebut dapat diterima oleh para pihak yang bersengketa.

(3)       Tugas mediator adalah memberikan bantuan substansial dan prosedural, dan terikat pada kode etik sebagai mediator.

(4)       Mediator tidak berwenang mengambil keputusan. Keputusan diambil oleh pihak yang bersengketa itu sendiri.

Syarat :

(1)       Adanya kekuatan tawar menawar yang seimbang antara para pihak

(2)       Para pihak menaruh harapan terhadap hubungan dimasa depan

(3)       Terdapat banyak persoalan yang memungkinkan terjadinya pertukaran

(4)       Adanya urgensi untuk menyelesaikan secara cepat

(5)       Tidak adanya rasa pemusuhan yang mendalam atau yang telah berlangsung lama di antara para pihak

(6)       Apabila para pihak mempunyai pendukung atau pengikut, mereka tidak memiliki pengharapan yang banyak dan dapat dikendalikan

(7)       Membuat suatu preseden atau mempertahankan hak tidak lebih penting dibandingkan dengan penyelesaian sengketa yang cepat

(8)       Jika para pihak berada dalam proses litigasi, maka kepentingan-kepentingan pelaku lainnya, seperti pengecara atau penjamin tidak diberlakukan lebih baik dibandingkan dengan mediasi[5].

Dalam penyelesaian sengketa lingkungan hidup, mediasi akan menguntungkan kedua belah pihak, selain proses penyelesaiannya yang cepat dan biaya murah. Selain bergantung kepada mediator, hasil dari negosiasi dapat juga dikatakan gagal apabila ada salah satu pihak yang  melakukan pengingkaran terhadap hasil mediasi. Contoh kasus yang sudah pernah terjadi antara lain sengketa lingkungan hidup antara warga masyarakat Desa Jeruk Sari Kecamatan Tirto Kab. Pekalongan dengan PT Berhasiltek Pekalongan serta antara warga Kelurahan Panjang Wetan dengan PT Segara Subur Mina Sejahtera Pekalongan. Dari contoh kasus yang disampaikan di atas, negosiasi yang dilaksanakan mengalami kegagalan dikarenakan salah satu pihak tidak melakukan hasil mediasi yang telah disepakati.

(c)      Arbitrase

Arbitrase adalah salah satu bentuk alternatif penyelesaian sengketa yang juga dikenal sangat luas. Dalam arbitrase para pihak menyerahkan sengketa mereka kepada pihak ketiga yang netral yang berwenang mengambil keputusan dan keputusannya itu mengikat pihak yang bersengketa dan mempunyai kekuatan eksekutorial. Ketentuan mengenai arbitrase itu sendiri diatur dalam pasal 1 Undang-Undang No. 30 tahun 1999, arbitrase adalah cara penyelesaian satu perkara perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh pihak yang bersengketa. Arbitrase ini lebih bersifat formil dan terstruktur daripada mediasi dan negosiasi. Para pihak yang bersengketa tidak merumuskan sendiri keputusan mereka namun bergantung kepada arbiter. Ciri- ciri arbitrase antara lain :

(1)       Adanya pihak ketiga netral yang terdiri dari seorang atau panel dari arbiter.

(2)       Argumentasi dalam arbitrase dapat disampaikan baik lisan maupun tertulis dengan dokumen tertentu sebagai bukti.

(3)       Keputusan arbutrase bersifat mengikat

(4)       Dalam arbitrase terdapat beberapa hal yang berkaitan dengan provisional relief, initiating arbitrations, dan law applied by the arbitrator (Nolan-Haley,1991:128,149-155)[6]

Dalam penyelesaian sengketa lingkungan hidup menggunakan arbitrase secara teoritis memang lebih cepat dan “murah” dan dengan prosedur yang sederhana namun pilihan ini kadang dirasa kurang tepat dikarenakan arbitrase menyerupai dengan pengadilan, sehingga keputusan yang diambil bisa saja tidak menimbulkan kepuasan dari kedua belah pihak dan win-win solutions tidak dapat tercapai. Di Indonesia sendiri dikenal dua macam arbitrase, yaitu arbitrase institusional (arbitrase yang sifatnya melembaga) dan arbitrase ad hoc (arbitrase yang tidak permanen)

(d)      Konsiliasi

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, konsiliasi diartikan sebagai usaha mempertemukan keinginan pihak yang bersengketa untuk mencapai persetujuan dan menyelesaikan perselisihan atau bisa diartikan sebagai upaya untuk membawa pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan permasalahan antara kedua pihak secara negosiasi. Konsiliasi juga dapat dipakai apabila mediasi gagal. Mediator dalam konsiliasi bisa berubah fungsi menjadi konsiliator, dan jika tercapai kesepakatan, maka konsiliator berubah menjadi arbiter yang keputusannya dapat mengikat kedua pihak yang bersengketa.

(e)      Pencarian fakta (fact finder)

Pencarian fakta sangat diperlukan dalam penyelesaian sengketa lingkungan hidup. Fakta-fakta sangat dibutuhkan dalam proses negosiasi ataupun mediasi. Pencarian fakta ini dilakukan oleh pihak yang netral yang bertugas mengumpulkan bahan-bahan keterangan untuk dapat dilakukan evaluasi dengan tujuan memperjelas masalah-masalah yang menimbulkan sengketa. Adapun yang bisa dilakukan oleh tim pencari fakta tesebut adalah :

(1)       Pemeriksaan kebenaran pengaduan.

(2)       Meneliti sumber pencemaran lingkungan hidup

(3)       Meneliti tingkat pencemaran suatu lingkungan hidup.

(4)       Meneliti siapa pihak yang paling bertanggung jawab terhadap perusakan lingkungan hidup.

Hasil dari tim pencari fakta tersebut akan sangat berguna untuk menentukan keputusan terhadap perselisihan sengketa lingkungan hidup

  1. C.        Efektifitas metode ADR

Secara umum, ada beberapa keuntungan menyelesaikan permasalahan lingkungan hidup dengan menggunakan metode ADR yaitu :

(1)          Keputusan yang hemat, jika dibandingkan dengan jalur pengadilan yang membutuhkan biaya yang besar.

(2)          Penyelesaian secara cepat, jika dibandingkan dengan jalur pengadilan yang bisa memakan waktu bertahun-tahun.

(3)          Hasil dapat memuaskan semua pihak.

(4)          Kesepakatan yang timbul bersifat komprehensif dan customized, yaitu penyelesaian masalah lingkungan hidup bisa menyelesaikan masalah baik yang diatur dalam hukum maupun yang berada di luar jangkauan hukum.

(5)          Tingkat kepercayaan yang tinggi dari pihak yang bersengketa.

(6)          Tingkat pengendalian yang lebih besar dan hasilnya bisa diduga.

(7)          Kesepakatan yang terbentuk bersiat win-win solution [7].

Penyelesaian sengketa lingkungan hidup merupakan suatu penyelesaian sengketa yang unik, karena dalam sengketa tersebut tidak bisa serta merta diterapkan jalur melalui pengadilan. Hal ini disebabkan penyelesaian sengketa lingkungan hidup banyak dipengaruhi oleh banyak faktor, baik itu faktor ekonomi, sosial bahkan sampai pada faktor politik. Sebagai contoh, apabila terjadi sengketa lingkungan hidup antara sebuah perusahaan dengan masyarakat, demi kepentingan penyidikan aparat penegak hukum tidak bisa serta merta menghentikan kegiatan perusahaan tersebut karena aparat penegak hukum harus memperhatikan juga hajat hidup orang banyak yang menjadi karyawan pada perusahaan tersebut. Apabila aparat penegak hukum tetap bersikeras, kemungkinan masalah sengketa lingkungan hidup tersebut bisa berkembang menjadi masalah sosial yang serius. Apabila menghadapi persoalan tersebut tentunya metode penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan menjadi lebih efektif.

Peranan instansi pemerintah dan juga non pemerintah (LSM Lingkungan hidup) yang berkaitan dengan lingkungan hidup tentunya sangat berperan penting dalam menyelesaikan sengketa lingkungan hidup sekaligus melakukan kontrol terhadap pihak-pihak tertentu dalam menjaga kelestarian lingkungan hidup. Kepada perusahaan/pihak-pihak yang diduga melakukan tindak pidana lingkungan hidup harus dibebani oleh hakim untuk :

(1)          Memasang atau memperbaiki unit pengolahan limbah sehingga limbah sesuai dengan baku mutu lingkungan hidup yang ditentukan.

(2)          Memulihkan fungsi lingkungan hidup.

(3)          Menghilangkan atau memusnahkan penyebab timbulnya pencemaran dan atau kerusakan lingkungan.

  1. III.           PENUTUP
  1. A.        Kesimpulan

(1)          Dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan merupakan sarana yang efektif dalam menyelesaikan sengketa lingkungan hidup. Hal ini dikarenakan dapat tercapainya kepuasan antara kedua pihak yang bersengketa, sekaligus menetapkan cara-cara untuk menjaga dan melestarikan kembali fungsi lingkungan hidup sehingga tidak terjadi kembali hal-hal yang menyebabkan kerusakan lingkungan hidup.

(2)          Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan harus bisa mendukung langkah-langkah konkret hukum untuk menciptakan keserasian lingkungan, yaitu :

–           Sebagai landasan iteraksional terhadap lingkungan (basic to environment interactive)

–           Sebagai sarana kontrol atas setiap interaksi terhadap lingkungan ( a tool of control)

–           Sebagai sarana ketertiban interaksional manusia dengan manusia lain, dalam kaitannya dengan kehidupan lingkungan ( a tool of social order)

–           Sebagai sarana pembaharuan ( a tool of social engineering) menuju lingkungan yang serasi menurut arah yan dicita-citakan (agent of change)

  1. B.        Saran

(1)          Perlunya peran aktif Polri sebagai aparat penegak hukum dalam memahami dan menyelesaikan permasalahan terkait lingkungan hidup baik melalui jalur pengadilan maupun di luar pengadilan.

(2)          Perlunya pemahaman kepada masyarakat dalam hal menjaga kelestarian lingkungan hidup demi mendukung upaya pembangunan berkelanjutan.


[1] Otto Soemarwoto, Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan, Jakarta : Djambatan, cetakan ketujuh,1997, hlm.53

[2] Hyronimus Rhiti, S.H.,LLM, Hukum Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup, Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta,2006.hlm .123

[3] Slide mata kuliah Pengetahuan dan Hukum Lingkungan Hidup

[4] Sodikin,SH,M.Hum, Penegakan hukum lingkungan tinjauan atas UU No. 23 tahun 1997,Jakarta:Djambatan, 2003

[5] Slide mata kuliah Pengetahuan dan Hukum Lingkungan Hidup

[6] Hyronimus Rhiti, S.H.,LLM, Hukum Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup, Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta,2006.hlm .123

[7][7]

PERANAN KELOMPOK SUKU BANGSA DI SUMATERA SELATAN DALAM MEMBANTU TUGAS KEPOLISIAN

  1. I. PENDAHULUAN

 

Masyarakat di Indonesia adalah masyarakat yang majemuk, memiliki lebih dari 500 kelompok suku bangsa yang dipersatukan dan diperintah oleh pemerintahan nasional menjadi sebuah bangsa dalam wadah negara kesatuan Republik Indonesia. Keanekaragaman tersebut tersebar di seluruh wilayah Indonesia dan memiliki ciri khas yang berbeda-beda. Suku bangsa adalah golongan manusia yang terikat oleh kesadaran dan identitas akan kesatuan kebudayaan yang dalam kehidupannya akan selalu berinteraksi dengan suku bangsa yang lainnya. Suku bangsa ini kemudian akan membentuk kelompok-kelompok suku bangsa yang mendiami suatu wilayah tertentu seperti suku bangsa Jawa yang tinggal di Pulau Jawa, suku bangsa Batak yang tinggal di Sumatera Utara ataupun kelompok suku bangsa tertentu yang tinggal di wilayah yang bukan asalnya seperti suku bangsa Jawa yang tinggal di Sumatra, suku bangsa Minang yang tinggal di Pulau Jawa, dsb. Suku bangsa yang dominan di Indonesia adalah suku bangsa Jawa, sehingga hampir di setiap wilayah di Indonesia terdapat suku bangsa Jawa, kedatangan suku bangsa Jawa ke Sumatera  berawal dari dibukanya daerah Sumatera Timur oleh Jacobus Nienhuijs pengusaha firma Van de Arend pada tahun 1863. Penyebaran suku bangsa tersebut membentuk sebuah komuniti yang merupakan sebuah kelompok yang anggota-angotanya saling kenal satu sama lain melalui jaringan kekerabatan, karena mereka berasal dari satu leluhur yang sama dan atau melalui hubungan perkawinan, dan yang menempati sebuah wilayah serta hidup dalam sebuah kelompok kecil. Komuniti juga merupakan sebuah jaringan sosial, yaitu sebuah satuan kehidupan sosial yang dihasilkan dari saling hubungan diantara angota-anggotanya. [1]

 

Menurut data sensus penduduk tahun 2010 jumlah penduduk di Sumatra Selatan berjumlah 7.446.401 jiwa [2] dimana BPS mengkategorikan suku bangsa yang berada di Sumatera Selatan menjadi 8 kelompok yaitu : Jawa, Melayu, Komering, Melayu Musi Sekayu, Melayu Enim, Melayu Pegagan, Melayu Palembang. Suku-suku bangsa di Sumatera Selatan sudah menyebar ke berbagai wilayah, namun identitas kewilayahan suku masih tetap dipertahankan. Identitas kesukuan pada beberapa dekade sekarang ini tidak lagi menyebutkan nama sukunya, namun lebih menonjolkan identitas teritorialnya. Sebagai contoh “orang belida” yaitu komunitas yang menempati wilayah di sekitar sungai Belida, “orang Komering” di sungai Komering, dsb. Walaupun menonjolkan identitas teritorial, suku bangsa di Sumatra Selatan masih tetap menonjolkan ciri-ciri suku bangsanya dengan membuat suatu komuniti untuk menunjukkan eksisnya budaya mereka di wilayah Sumatra Selatan. Sebagai contoh adalah Pujasuma  ( Paguyuban Keluarga Jawa Sumatra), Ikamuba ( Ikatan Keluarga Musi Banyuasin ),  Fokku ( Forum Kekeluargaan Komering Ulu), Bamukoi ( Badan Musyawarah Keluarga Ogan Ilir), dsb.

 

  1. II. KOMUNITI SEBAGAI BENTUK KEMAJEMUKAN

Anggota-anggota masyarakat merasa sebagai sebuah satuan kehidupan yang berbeda dari satuan kehidupan lainnya, karena :

  1. Kebudayaan beriku pranata-pranata sosial yang mereka miliki.
  2. Karena keterikatan kepada wilayah tempat mereka tinggal dan hidup.
  3. Karena keterikatan satu sama lain melalui berbagai bentuk solidaritas sosial yang terwujud dalam kehidupan sosial mereka sebagai sebuah kelompok sosial.

Karena keterikatan sosial yang satu dengan yang lainnya ini, maka sebuah masyarakat biasanya juga dinamakan sebuah sistem sosial yang komprehensif, yang mencakup semua pranata-pranata sosial untuk pemenuhan kebutuhan-kebutuhan hidup yang dianggap penting oleh masyarakat tersebut.

Komuniti terbentuk akibat adanya persamaan, baik itu melalui jaringan kekerabatan, leluhur atau melalui perkawinan. Batas-batas sebuah komuniti tidak ditentukan oleh batas-batas wilayah yang menjadi tempat tinggal dan hidupnya kelompok ini, tetapi oleh batas-batas pemukiman atau hunian dari anggota-anggota komuniti [3]. Namun pada masa sekarang ini komuniti tersebut berkembang sehingga seperti tidak ada batasan wilayah lagi, dikarenakan semua orang mudah bergabung dengan sebuah komuniti. Sebagai contoh Pujasuma (Paguyuban Keluarga Jawa Sumatra). Anggota Pujasuma sekarang ini tidak hanya masyarakat yang bersuku bangsa Jawa, namun berkembang menjadi siapapun orang walaupun bukan suku Jawa dapat bergabung dengan Pujasuma. Komuniti pada akhirnya berkembang menjadi sebuah komunitas yang mengacu pada semangat atau nilai-nilai kebudayaan dari komuniti. Uraian di atas menunjukkan bahwa di dalam komuniti itu sendiri sudah terdapat kemajemukan diantara anggotanya. Perkembangan komuniti itu pun sering menjadi sasaran para politikus sebagai sarana untuk menghimpun suara dalam Pemilu di setiap daerah. Sehingga pada setiap event Pilkada, komuniti tersebut selalu dilibatkan karena dianggap mampu memberikan kontribusi yang sangat besar dalam perolehan suara.

 

  1. III. PERANAN KOMUNITI TERHADAP TUGAS KEPOLISIAN

Tugas pokok Kepolisian yang berhubungan dengan komuniti masyarakat tersebut adalah Polmas (community policing) Pada hakekatnya konsepsi community policing secara tradisionil melembaga dalam kehidupan sosial masyarakat Indonesia. Kita mengembangkan sistem keamanan lingkungan (Siskamling), bahkan lebih efektif dibandingkan dengan program yang disebut neighborhood watch di negara-negara maju. Mekanisme penyelesaian perkara secara non yustisiil melembaga dalam kehidupan terutama masyarakat rural. Persoalannya kita mempraktekannya dengan cara yang tradisionil. Atas dasar itulah kita tidak serta merta mengadopsi konsep community policing yang dikembangkan di negara-negara maju, melainkan mengembangkan pranata yang telah kita miliki yang disesuaikan dengan kebutuhan kekinian. Model community policing ala Indonesia dimaksud kita sebut “Perpolisian Masyarakat” (Polmas) sebagaimana diatur dalam Surat Keputusan Kapolri No.Pol.: Skep/737/X/2005 tanggal 13 Oktober 2005 tentang Kebijakan dan Strategi Penerapan Model Perpolisian Masyarakat dalam Penyelenggaraan Tugas Polri.

Tujuan Penerapan Polmas adalah terwujudnya kerjasama polisi dan masyarakat lokal(komunitas) untuk menanggulangi kejahatan dan ketidak-tertiban sosial dalam rangka menciptakan ketrenteraman umum dalam kehidupan masyarakat setempat, tidak hanya mencegah timbulnya tetapi juga mencari jalan keluar pemecahan permasalahan yang dapat menimbulkan gangguan dan berimplikasi terhadap keamanan dan ketertiban yang bersumber dari komunitas itu sendiri. Program Polri tersebut dapat berhasil dilaksanakan apabila Polri dan komunitas di masyarakat dapat bekerja sama. Konsep community policing yang diterapkan di Kepolisian Republik Indonesia mengacu kepada “Koban” di negara Jepang, dimana anggota Polisi benar-benar dapat berbaur dengan masyarakat dan mengetahui secara jelas kebiasaan dan kondisi masyarakatnya. Namun sangat disadari dengan kondisi Indonesia yang terdiri dari berbagai macam suku bangsa penerapan program tersebut tentunya akan mengalami banyak sekali kendala dibandingkan dengan negara Jepang yang hanya memiliki satu suku bangsa yaitu bangsa “Jepang”.

Komunitas masyarakat seperti Pujasuma, Fokku, Bamukoi sangat penting artinya bagi tugas kepolisian, dalam hal tindak pidana, komuniti tersebut memiliki peran yang penting dalam penyelesaian perkara di luar sidang pengadilan, khususnya perkara pidana yang mengakibatkan kerugian kecil dan sifatnya bisa diselesaikan secara kekeluargaan. Dalam hal menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, komuniti juga sangat berperan dalam membantu tugas Polri melakukan pengamanan, sebagai contoh dalam membantu tugas Polri mengamankan kegiatan beragama masyarakat di tempat-tempat ibadah,dsb.

Dengan adanya komuniti masyarakat tersebut dapat memperkecil terjadinya konflik antar suku bangsa, sehingga konflik yang terjadi merupakan persaingan yang sehat dan saling berkompetisi untuk memajukan masyarakat.

  1. IV. KESIMPULAN

Sebagai wujud dari kemajemukan, komuniti seperti Pujasuma, Fokku, Bamukoi, dsb di wilayah Propinsi Sumatera Selatan harus tetap dipertahankan. Hal ini berguna sebagai sarana saling komunikasi antar anggotanya sehingga dapat menghilangkan kemungkinan terjadinya konflik antar suku bangsa. Dengan adanya komunikasi yang baik antar suku bangsa maka akan membuat masyarakat merasa aman.

Peran komuniti masyarakat yang sangat penting dalam membantu tugas kepolisian, khususnya dalam penyelesaian kasus pidana yang sifatnya ringan dan mampu diselesaikan dengan cara kekeluargaan melalui komunitas masyarakat. Selain itu para anggota komuniti turut berperan serta dalam mejaga keamanan masyarakat pada saat melakukan kegiatan ibadah seperti malam Natal, perayaan tahun baru dsb. Dengan kata lain secara umum tujuan sebuah komuniti adalah untuk mejaga kerukunan antar komuniti sehingga mereka dapat hidup berdampingan secara damai. Hal tersebut tentunya memberikan kontribusi yang sangat besar dalam membantu pelaksanaan tugas Polri dalam menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat.

 

 

  1. V. SARAN

 

  1. Perlunya menerapkan pola “local boy for the local job” dalam institusi kepolisian, sehingga dapat mempermudah dalam melakukan pembinaan kepada masyarakat untuk membantu tugas Polri dalam menjaga kemanan dan ketertiban.
  2. Dalam setiap perkembangan komuniti, tentunya Polri harus melakukan pengawasan dan dapat membina hubungan kemitraan dengan komuniti-komuniti tersebut.

 


[1] Hubungan antar suku bangsa.Prof. Parsudi Suparlan, Ph.D, Jakarta : PTIK,Juni 2008

[3] Hubungan antar suku bangsa.Prof. Parsudi Suparlan, Ph.D, Jakarta : PTIK,Juni 2008

 

 

PERANAN POLRI DALAM PENCEGAHAN BAHAYA NARKOBA


BAB I

PENDAHULUAN

  1. A. Latar Belakang Masalah

Peredaran gelap narkotika dan obat-obat berbahaya atau narkoba dalam beberapa tahun terkahir perkembangannya sangat cepat dan meluas. Peredarannya bahkan sampai di kota dan di desa sampai kepada pelajar tingkat Sekolah Dasar (SD).Sementara pemberantasannya sangat sulit dilakukan karena jaringannya sangat luas, tersusun rapi, bahkan polisi pun bisa terlibat dalam jaringan narkoba. Berbagai jurus polisi untuk menjaring narkoba sudah banyak dilakukan namun belum juga memuaskan.   Saat ini kasus Narkoba di Indonesia mengalami kenaikan yang sangat signifikan serta adanya bukti bahwa saat ini Indonesia bukan hanya menjadi negara transit namun telah berubah menjadi negara konsumen, produsen, bahkan pengekspor narkoba.

Berbagai keberhasilan yang telah dilakukan oleh Polri untuk mengungkap para pelaku dan pabrik-pabrik narkoba di Indonesia tidak membuat para pelaku tersebut jera justru kasus narkoba itu semakin meningkat. Berdasarkan laporan dan informasi tentang situasi dan perkembangan permasalahan narkoba, telah diketahui bahwa peredaran dan penyalahgunaan narkoba tersebut sudah menjadi ancaman yang sangat serius bagi masa depan bangsa Indonesia. Dari data statistika yang dimiliki oleh Badan Narkotika Nasional (BNN), peredaran shabu (methamphetamine) terus meningkat sejak tahun 2006, hal tersebut digambarkan dari bertambahnya jumlah kasus dan tersangka jenis shabu dan mencapai level tertinggi pada tahun 2009 (10.742 kasus dan 10.183 tersangka). Demikian pula dengan jumlah penyitaan shabu oleh Ditjen Bea dan Cukai tahun 2009 juga menunjukkan adanya peningkatan . Hasil survey BNN tahun 2009 menyimpulkan bahwa prevalensi penyalahgunaan narkoba dikalangan pelajar dan mahasiswa adalah 4,7% atau sekitar 921.695 orang. Jumlah tersebut sebanyak 61% menggunakan narkoba jenis analgesik, dan 39% menggunakan jenis ganja,amphetamine,ekstasi dan lem (Jurnal Data P4GN, 2010. [1]

Pada zaman lampau , peredaran narkoba melalui perdagangan sehingga banyak beredar di sekitar pelabuhan terutama pantai utara Jawa, dan sebagian kepedalaman melalui jalur darat. Saat ini, lalu lintas narkoba baik yang diproduksi di dalam negeri maupun yang diselundupkan oleh orang asing, melalui banyak jalur dan dengan berbagai macam modus operandi. Peredaran narkoba sangat marak di kota-kota besar seperti di tempat hiburan malam, bar, diskotik, pemukiman, dan hotel-hotel tertentu, bahkan para pelaku membuat pabrik narkoba di apartemen dan di komplek perumahan mewah untuk mengelabui petugas.

Dari aspek penegakan hukum, saat ini semakin banyak pelaku yang berhasil ditangkap dan barang bukti narkoba yang berhasil disita. Hal ini menunjukkan keberhasilan pencegahan dan penegakan hukum terhadap para pelaku penyalahgunaan Narkoba namun di sisi lain hal ini dapat menimbulkan keprihatinan  akibat gencarnya peredaran gelap Narkoba.  Pemerintah Indonesia telah berupaya keras dalam memerangi Narkoba, hal ini ditunjukkan dengan dikeluarkannya UU No. 35 tahun 2009 tentang Narkoba sebagai penyempurnaan dari UU No. 22 tahun 1997 tentang Narkotika dan UU No. 5 tahun 1997 tentang Psikotropika yang dinilai kurang memberikan efek jera dalam pelaksanaannya, tidak dapat mencegah tindak pidana narkoba yang meningkat baik secara kualitatif maupun kuantitatif serta bentuk kejahatannya yang sudah mulai terorganisir dan masih banyak ditemukan kekurangan  sehingga dapat melemahkan hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku penyalahgunaan Narkoba bahkan menjadi salah satu upaya oknum penegak hukum untuk melakukan ‘kerjasama’ dengan para pelaku penyalahgunaan narkoba.  Dalam pelaksanaannya sudah jelas bahwa Polri merupakan garda terdepan dalam hal pencegahan dan pemberantasan Narkoba bahkan Polri sendiri telah menempatkan Narkoba sebagai kasus yang mendapat perhatian serius atau diutamakan, namun tugas berat tersebut tentunya tidak akan berhasil tanpa adanya dukungan dari semua element masyarakat.

Narkoba adalah bahan/zat yang jika dimasukkan dalam tubuh manusia, baik secara oral/diminum, dihirup, maupun disuntikkan, dapat mengubah pikiran, suasana hati atau perasaan, dan perilaku seseorang. Narkoba dapat menimbulkan ketergantungan (adiksi) fisik dan psikologis. Kebanyakan zat dalam narkoba sebenarnya digunakan untuk pengobatan dan penelitian. Tetapi karena berbagai alasan mulai dari keinginan untuk coba-coba, ikut trend/gaya, lambang status sosial, ingin melupakan persoalan, dll maka narkoba kemudian disalahgunakan. Penggunaan terus menerus dan berlanjut akan menyebabkan ketergantungan atau dependensi, disebut juga kecanduan. Kecanduan inilah yang menyebabkan gangguan fisik dan psikologis, karena terjadinya kerusakan pada system saraf pusat dan organ-organ tubuh seperti jantung, paru-paru, hati dan ginjal. Dampak penyalahgunaan narkoba pada seseorang sangat tergantung pada jenis narkoba yang dipakai, kepribadian pemakai dan situasi atau kondisi pemakai. Secara umum, dampak kecanduan narkoba dapat terlihat dari fisik, psikis maupun social seseorang. [2]

PEMBAHASAN

  1. A. Bagaimana perbedaan UU No. 35 tahun 2009 sebagai penyempurnaan UU No. 22 tahun 1997.

Sebagaimana diketahui bahwa UU No. 22 tahun 1997 tentang Narkotika dan UU no. 5 tahun 1997 dinilai sudah tidak relevan lagi dengan dinamika perkembangan kejahatan Narkoba di Indonesia. Hal ini disebabkan antara lain bahwa tindak pidana Narkoba telah bersifat transnasional yang dilakukan dengan modus operansi yang tinggi, teknologi canggih, didukung oleh jaringan organisasi yang luas, dan sudah banyak menimbulkan korban, terutama di kalangan generasi muda bangsa yang sangat membahayakan kehidupan masyarakat, bangsa dan Negara. [3] Dalam UU No. 22 tahun 1997 mengatur upaya-upaya pemerintah dalam pemberantasan penyalahgunaan narkoba, di dalamnya diatur tentang ruang lingkup dan penggunaan narkotika, pengadaan narkotika untuk melakukan pelayanan kesehatan, impor dan ekspor narkotika yang berada di bawah pengawasan Menteri Kesehatan dan Menteri Perdagangan. Dari factor ketentuan pidana di dalam UU No. 22 tahun 1997 mengatur tentang ancaman hukuman terhadap pelaku penyalahgunaan narkoba mulai pada hukuman penjara dalam kurun waktu tertentu, hukuman seumur hidup bahkan sampai pada hukuman mati. Di dalamnya juga diatur mengenai pengobatan dan rehabilitasi terhadap pecandu narkoba. UU No. 35 tahun 2009 dibuat oleh pemerintah sebagai penyempurnaan dari UU sebelumnya, dimana di dalam UU No. 35 tahun 2009 tersebut terdapat beberapa perubahan yang mendasar, antara lain :

  1. 1. Perubahan jenis dan golongan narkoba

Dalam UU sebelumnya golongan narkoba dibagi menjadi dua bagian yang keduanya diatur dalam UU No. 22 tahun 1997 tentang nakotika dan UU No. 5 tahun 1997 tentang Psikotropika. Dalam lampiran UU No. 22 tahun 1997 terdapat 26 jenis narkotika golongan I, 87 jenis narkotika golongan II, dan 14 jenis narkotika golongan III. Sedangkan dalam lampiran UU No. 35 tahun 2009 terdapat 65 jenis narkotika golongan I, 86 jenis narkotika golongan II, dan 11 jenis narkotika golongan III. Dalam lampiran tersebut dapat dilihat bahwa di dalam UU No. 35 tahun 2009 terdapat penggabungan beberapa jenis psikotropika golongan I dan II (lampiran UU No. 5 tahun 1997) ke dalam narkotika golongan I di UU No. 35 tahun 1997. Selain itu dalam UU No. 35 tahun 2009 terdapat penekanan terhadap penyalahgunaan precursor narkotika yaitu zat atau bahan pemula atau bahan kimia yang dapat digunakan dalam pembuatan narkotika.

Perkembangan tersebut dirasakan sangat sesuai dengan tren kejahatan penyalahgunaan narkoba pada saat ini. Jenis narkoba yang marak digunakan adalah jenis shabu-shabu, namun dalam UU sebelumnya shabu-shabu hanya digolongkan pada jenis psikotropika golongan II sehingga memiliki ancaman hukuman pidana yang lebih ringan. Dari segi kesehatan shabu-shabu justru memiliki dampak merusak kondisi fisik dan psikis seseorang yang lebih tinggi, bahkan di Indonesia sendiri banyak terungkap pabrik-pabrik narkoba jenis shabu-shabu yang beromzet sampai puluhan miliar rupiah.

  1. 2. Peran BNN dalam melakukan penyidikan narkotika

Dalam UU No. 22 tahun 1997 dan UU No. 5 tahun 1997 pemberantasan Narkoba hanya dititikberatkan kepada Penyidik Polri dan penyidik PPNS, namun pada pasal 64 UU No. 35 tahun 2009 tercantum dibentuknya Badan Narkotika Nasional (BNN) sebagai upaya dalam rangka pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika serta precursor narkotika, dimana BNN merupakan lembaga pemerintah non kementrian yang berkedudukan di bawah Presiden dan bertanggung jawab kepada Presiden. Pada UU no. 35 tahun 2009 juga disebutkan bahwa kewenangan Penyidik BNN sama dengan kewenangan Penyidik Polri.

  1. 3. Pemusnahan barang bukti narkotika

Dalam UU No. 35 tahun 2009 pasal 92, diatur dengan sangat jelas perihal pemusnahan barang bukti narkotika. Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa pemusnahan barang bukti narkotika khususnya yang berbentuk tanaman wajib dilakukan paling lama 2 x 24 jam sejak saat ditemukan, setelah disisihkan sebagian kecil untuk kepentingan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di siding pengadilan dan dapat disisihkan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta untuk kepentingan pendidikan dan latihan. Dalam UU No. 22 tahun 1997 tidak dijelaskan tentang jangka waktu barang bukti narkotika harus dimusnahkan.

  1. 4. Pengobatan dan rehabilitasi.

Dalam hal pengobatan pada pasal 53 UU No. 35 tahun 2009 dengan tegas menyatakan bahwa untuk kepentingan pengobatan dan berdasarkan indikasi medis, doker dapat memberikan narkotika golongan II atau golongan III dalam jumlah terbatas dan sediaan tertentu kepada pasien sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dalam pasal 55 UU No 35 tahun 2009 pasal 55 ayat (1) juga disebutkan tentang kewajiban orang tua/wali bagi pecandu narkoba yang belum cukup umur, wajib melaporkan kepada pusat kesehatan masyarakat, rehabilitasi medis dan sebagainya untuk mendapatkan pengobatan dan atau perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi social.

  1. 5. Ketentuan pidana.

Pada ketentuan pidana UU No. 35 tahun 2009 mengatur sebanyak 35 pasal dibandingkan UU terdahulu sebanyak 23 pasal saja. Selain itu dalam UU no 35 tahun 2009 memiliki ancaman hukuman pidana penjara yang lebih lebih berat demikian halnya dengan ancaman hukuman denda. Pokok-pokok perubahan tersebut antara lain :

  1. Adanya system pidana minimal.
  2. Semakin beratnya hukuman bagi pelaku yang melakukan pelanggaran untuk seluruh jenis / golongan narkotika.
  3. Semakin banyak barang bukti yang disita dari pelaku, maka hukuman pidana akan semakin bertambah berat.
  4. Bagi penyalahguna narkotika yang merupakan korban penyalahgunaan narkotika wajib mengikuti rehabilitasi medis atau rehalbilitasi social sebagaimana tercantum dalam pasal 127 ayat (3) UU no. 35 tahun 2009.
  5. Adanya sanksi pidana bagi orang tua/wali pecandu yang belum cukup umur yang tidak melaporkan kepada aparat yang berwenang berupa kurungan selama 6 bulan atau denda sebesar Rp.  1.000.000,- (satu juta rupiah).
  6. Adanya ancaman hukuman bagi penyidik Polri/BNN atau PPNS yang tidak menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan.
  1. B. Peran dan fungsi Polri dalam pencegahan narkoba.

Peran dan fungsi Polri dalam pencegahan narkoba tidak hanya dititik beratkan kepada penegakan hukum tetapi juga kepada pencegahan penyalahgunaan narkoba. Pencegahan penyalahgunaan narkoba adalah seluruh usaha yang ditujukan untuk mengurangi permintaan dan kebutuhan gelap narkoba. Berdasarkan prinsip dasar ekonomi tentang permintaan (demand) dan persediaan (supply), selama permintaan itu masih ada,persediaan akan selalu ada, dan apabila permintaan itu berhenti atau berkurang, persediaan akan berkurang, termasuk pasarnya. [4] Dalam konsep penegakan hukum oleh Polri tentunya tidak terlepas dari terwujudnya keamanan dan ketertiban masyarakat. Seperti tercantum dalam UU No. 2 tahun 2002 tentang Polri, Kamtibmas didefinisikan sebagai :

suatu kondisi dinamis masyarakat sebagai salah satu prasyarat terselenggaranya proses pembangunan nasional dalam rangka tercapainya tujuan nasional yang ditandai oleh terjaminnya tertib dan tegaknya hukum serta terbinanya ketentraman, yang mengandung kemampuan membina serta mengembangkan potensi dan kekuatan masyarakat dalam menangkal, mencegah, dan menanggulangi segala bentuk pelanggaran hukum dan bentuk-bentuk gangguan lainnya yang dapat meresahkan masyarakat.”

Dengan demikian sangatlah jelas bahwa penegakan hukum merupakan salah satu bagian dari tugas tersebut. Penjelasan tersebut juga menegaskan kembali apa yang sebenarnya menjadi tugas kepolisian, yaitu tugas preventif atau melakukan pencegahan terhadap pelanggaran dan kejahatan atau juga memelihara ketertiban (order maintenance) dan tugas represif yaitu melakukan penegakan hukum (law enforcement).

  1. 1. Fungsi Penegakan Hukum

Dalam hal penegakan hukum, tidak terlepas dari kegiatan penyelidikan dan penyidikan kasus narkoba. Seperti diketahui kasus narkoba merupakan kasus yang khas dimana kasus narkoba merupakan kasus yang tidak ada “laporan polisi”, hanya berdasarkan informasi maupun laporan dari masyarakat yang ditindak lanjuti oleh Polri. Dalam penanganan kasus narkoba, selain berpedoman kepada KUHAP dan UU Narkotika, fungsi diskresi juga sangat diperlukan. Namun dalam prakteknya banyak anggota Polri yang tidak memahami arti diskresi secara benar sehingga diskresi sering menjadi dalih atas ketidakmampuan anggota Polri dalam mengambil keputusan secara cepat dan tepat.  Diskresi adalah “wewenang yang diberikan hukum untuk bertindak dalam situasi khusus sesuai dengan penilaian dan kata hati instansi atau petugas itu sendiri” ( Walker,1983:54 dalam Barker,1994 )[5] Wacana tersebut ditegaskan dalam pasal 16 huruf ( l )dan pasal 18 UU No. 2 tahun 2002 yaitu :

Pasal 16 :

( huruf l )

Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.

Kewenangan tersebut diatur dalam KUHAP Pasal 5 ayat (1) huruf a angka 4 dan pasal 7 ayat (1) huruf j : yang dimaksud “tindakan lain” adalah tindakan dari penyelidik untuk kepentingan penyelidikan dengan syarat :

–                 Tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum.

–                 Selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan dilakukannya tindakan jabatan

–                 Tindakan itu harus patut dan masuk akal dan termasuk dalam lingkungan jabatannya.

–                 Atas pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan memaksa

–                 Menghormati hak asasi manusia.

Pasal 18

Ayat (1)

Untuk kepentingan umum, pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri.

Ayat (2)

Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksudpada ayat (1) hanya dapat dilaksanakan dalam keadaan yang sangat perlu dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan serta kode etik profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Peraturan perundang-undangan yang dijadikan pedoman oleh setiap anggota Polri adalah UU no. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia khususnya dalam pasal 13 tentang Tugas Pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia yaitu : memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum , memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat. Sebagaimana tercantum dalam UU No. 35 tahun 2009 pasal 75, Penyidik berwenang untuk :

  1. Melakukan penyelidikan atas kebenaran laporan serta keterangan tentang adanya penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika
  2. Memeriksa orang atau korporasi yang diduga melakukan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika
  3. Memanggil orang untuk didengar keterangannya sebagai saksi
  4. Menyuruh berhenti orang yang diduga melakukan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika serta memeriksa tanda pengenal diri tersangka.
  5. Memeriksa, menggeledah, dan menyita barang bukti tindak pidana dalam penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika
  6. Memeriksa surat dan/atau dokumen lain tentang penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;
  7. Menangkap dan menahan orang yang diduga melakukan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;
  8. Melakukan interdiksi terhadap peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika di seluruh wilayah juridiksi nasional.
  9. Melakukan penyadapan yang terkait dengan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika setelah terdapat bukti awal yang cukup
  10. Melakukan teknik penyidikan pembelian terselubung dan penyerahan di bawah pengawasan
  11. Memusnahkan Narkotika dan Prekursor Narkotika
  12. Melakukan tes urine, tes darah, tes rambut, tes asam dioksiribonukleat (DNA), dan/atau tes bagian tubuh lainnya
  13. Mengambil sidik jari dan memotret tersangka
  14. Melakukan pemindaian terhadap orang, barang, binatang, dan tanaman
  15. Membuka dan memeriksa setiap barang kiriman melalui pos dan alat-alat perhubungan lainnya yang diduga mempunyai hubungan dengan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika
  16. Melakukan penyegelan terhadap Narkotika dan Prekursor Narkotika yang disita
  17. Melakukan uji laboratorium terhadap sampel dan barang bukti Narkotika dan Prekursor Narkotika
  18. Meminta bantuan tenaga ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan tugas penyidikan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika
  19. Menghentikan penyidikan apabila tidak cukup bukti adanya dugaan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika.

Dari uraian di atas menunjukkan beratnya tanggung jawab Polri dalam menegakkan hukum, hal ini dikarenakan di satu sisi Polri harus menjunjung asas legalitas sebagai aktualisasi paradigma penegakan supremasi hukum sesuai dengan yang diamanatkan dalam peraturan perundang-undangan.  Namun tindakan pencegahan terhadap penyalahgunaan narkotika juga harus tetap dilaksanakan melalui pola-pola preventif demi terwujudnya keamanan dan ketertiban masyarakat.

  1. 2. Fungsi preventif

Pencegahan penyalahgunaan narkoba adalah seluruh usaha yang ditujukan untuk mengurangi permintaan dan kebutuhan gelap narkoba. Berdasarkan prinsip dasar ekonomi tentang permintaan ( demand) dan persediaan ( supply ), selama permintaan itu ada, persediaan akan selalu ada, dan apabila permintaan itu berkurang atau berhenti, persediaan akan berkurang termasuk pasarnya. [6] Masalah penyalahgunaan narkoba merupakan masalah yang sangat kompleks yang secara umum disebabkan oleh 3 ( tiga ) faktor yaitu : factor individu, factor lingkungan dan factor ketersediaan, menunjukkan bahwa pencegahan penyalahgunaan narkoba yang efektif memerlukan pendekatan secara terpadu dan komprehensif.  Oleh karena itu peranan semua pihak termasuk para orang tua, guru, LSM, tokoh agama, tokoh masyarakat dsb sangatlah penting. [7]

Peranan Polri menjadi sangat besar dalam pencegahan penyalahgunaan narkoba, hal ini disebabkan Polri memiliki fungsi Bhabinkamtibmas yang menjadi ujung tombak terjalinnya komunikasi antara Polri dengan masyarakat sehingga Bhabinkamtibmas dapat membimbing masyarakat bagi terciptanya lingkungan yang menguntungkan upaya penertiban dan penegakan hukum, upaya perlindungan dan pelayanan masyarakat di desa/ kelurahan. Peranan tersebut antara lain :

  1. a. Sebagai motivator

Bhabinkamtibmas dapat menumbuhkan kepedulian masyarakat terhadap kesadaran hukum dan keamanan lingkungan agar tidak menjadi korban atau pelaku kejahatan penyalahgunaan narkoba. Selain itu Bhabinkamtibmas diharapkan mampu mendorong, mengarahkan, serta meningkatkan partisipasi masyarakat di wilayah tugasnya untuk berperan serta mencegah timbulnya gangguan Kamtibmas termasuk penyalahgunaan Narkoba.[8]

  1. b. Sebagai Pembina kader

Bhabinkamtibmas dapat membangun kemitraan dengan masyarakat yang berperan aktif dalam mendukung pelaksanaan tugas-tugas yang diemban oleh Bhabinkamtibmas. Mampu mengajak partisipasi para tokoh agama, tokoh adat dan tokoh masyarakat dalam menanggulangi munculnya kasus penyalahgunaan narkoba di wilayahnya.[9]

  1. c. Sebagai fasilitator

Memfasilitasi para kader dan para tokoh masyarakat serta menjadi mediator dalam hal menyelesaikan masalah-masalah penyalahgunaan narkoba yang timbul di wilayah tugasnya.

KAJIAN PERATURAN KAPOLRI NOMOR : Protap / 1 / X / 2010 tentang PENANGGULANGAN ANARKI SEBAGAI PENERAPAN GOOD GOVERNANCE POLRI

I. PENDAHULUAN

Peristiwa penggulingan rezim orde baru di tahun 1998 merupakan tonggak awal dilaksanakannya demokrasi di era reformasi. Namun dalam perkembangannya pelaksanaan demokrasi di Indonesia identik dengan adanya demonstrasi, dan hal ini diperburuk dengan  demonstrasi tersebut berubah menjadi demonstrasi anarkis. Hal yang patut kita pertanyakan, apakah demontrasi anarkis merupakan senjata pamungkas untuk menyampaikan pendapat di era reformasi saat ini? Bukankah kebebasan mengemukakan pendapat sudah diatur dalam peraturan perundangan di Indonesia? Hal tersebut menunjukkan masih rendahnya tingkat kesadaran masyarakat terhadap etika berbangsa dan bermasyarakat.

Aksi-aksi kekerasan yang melibatkan seseorang, kelompok atau bahkan massa dalam jumlah yang besar mulai marak di wilayah tanah air. Masih ingatkah kita dengan peristiwa kematian ketua DPRD Sumatera Utara ABDUL AZIZ pada peristiwa demonstrasi massa yang menuntut pemekaran propinsi Tapanuli Utara, kasus kekerasan di Jalan Ampera Jakarta atau kerusuhan di Tarakan, Kalimantan Timur? Peristiwa tersebut tentunya tidak dapat diterima oleh sebagian masyarakat, dan hal tersebut tentunya menjadi salah satu tanggung jawab Polri dalam upaya pencegahannya. Kejadian-kejadian tersebut membuat Polri untuk lebih waspada sehingga Kapolri pada saat itu Jenderal Polisi Bambang Hendarso Danuri mengeluarkan Peraturan Kapolri Nomor 01 tahun 2010 tentang penanggulangan aksi anarki sebagai pedoman bagi seluruh anggota Polri apabila dihadapkan dengan peristiwa tersebut, sehingga Polri sudah memiliki prosedur tetap dan tidak ragu-ragu lagi dalam mengambil tindaka

II. PEMBAHASAN

1. Perkap Nomor 1 tahun 2010

Sebagaimana tercantum dalam Protap Nomor 01 tahun 2010, yang dimaksud dengan anarki adalah tindakan yang dilakukan dengan sengaja atau terang-terangan oleh seseorang atau sekelompok orang yang bertentangan dengan norma hukum yang mengakibatkan kekacauan, membahayakan keamanan umum, mengancam keselamatan jiwa dan atau barang, kerusakan fasilitas umum atau hak milik orang lain. Namun perlu digaris bawahi bahwa pelaksanaan protap ini tidak semata-mata menjadi pedoman utama karena setiap anggota Polri juga harus memperhatikan Peraturan Kapolri Nomor 01 tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tugas Kepolisian serta Peraturan Kapolri Nomor 8 tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam penyelenggaraan tugas Polri. Untuk menerapkan Protap tersebut, anggota Polri tetap harus dibekali dengan pelatihan-pelatihan cara menangani aksi anarkis dan sporadis sehingga dalam pelaksanaannya tidak akan disalahgunakan oleh anggota Polri itu sendiri untuk berlawanan dengan masyarakat.

Peraturan Kapolri tersebut didasarkan pada beberapa hal yang antara lain didasarkan pada Resolusi PBB 34/169 tanggal 7 Desember 1969 tentang Ketentuan Berperilaku (code of conduct) untuk Pejabat Penegak Hukum dan Protokol PBB Tahun 1980 tentang Prinsip-Prinsip Dasar Penggunaan Kekerasan dan Senjata Api oleh Aparat Penegak Hukum. Hal tersebut menjadi dasar supaya Polri  tidak disalahkan dalam bertindak dan dinilai oleh dunia internasional tindakan Polri sudah benar.

Sebagaimana diatur dalam Perkap Nomor 01 tahun 2010, petugas Polri dalam melakukan penanggulangan tindakan anarki harus berpedoman kepada empat asas yaitu :

a. Asas legalitas

Anggota Polri dalam melakukan tindakan harus sesuai dengan prosedur dan hukum yang berlaku.

b. Asas nesesitas

Anggota Polri yang melakukan tindakan mesti didasari oleh suatu kebutuhan penegakan hukum

c. Asas proporsionalitas

Anggota Polri yang melakukan tugas penanggulangan anarki senantiasa  menjaga keseimbangan antara tindakan yang dilakukan dengan ancaman yang dihadapi dalam menegakan hukum.

d. Asas akuntabilitas

anggota Polri yang melakukan tugas penanggulangan anarki senantiasa bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.

Dengan adanya asas tersebut, anggota Polri diharapkan dapat melindungi masyarakat dari tindakan-tindakan represif sekaligus melindungi anggota Polri itu sendiri. Selain itu, asas tersebut dapat memberikan batasan-batasan tentang penggunaan kekuatan Polri dalam menghadapi aksi-aksi anarkis dan sporadis.

2. Good governance

UNDP :

“hubungan yang sinergis dan konstruktif diantara negara, sektor swasta dan masyarakat (society)”.

Peraturan Pemerintah No. 101 tahun 2000 :

“ Kepemerintahan yang membangun dan menerapkan prinsip-prinsip profesionalitas, akuntabilitas, transparasi, pelayanan prima, demokrasi, efisiensi, efektifitas, supermasi hukum dan dapat diterima oleh seluruh masyarakat “.

Dengan penerapan pembangunan negara yang “Good Governance” sangat diharapkan proses pengelolaan pemerintah yang demokratis, profesional, menjunjung tinggi supermasi hukum dan HAM, desentralistik, partisipatif, transparan, keadilan, bersih dan akuntable; selain berdaya guna, berhasil guna dan berorientasi pada peningkatan daya saing bangsa.

Terdapat beberapa unsur pokok sistem kepemerintahan yang baik (good governance) yaitu :

–       Akuntabilitas

–       Transparansi

–       Keterbukaan

–       Aturan hukum

Apabila konsep pemerintahan yang baik tersebut dikaitkan dengan Peraturan Kapolri Nomor 01 tahun 2010, Penulis berpendapat bahwa peraturan Kapolri Nomor 01 tahun 2010 tersebut sesuai dengan konsep Good Governance. Hal ini disebabkan antara lain:

–       Asas legalitas dan profesionalitas yang digunakan dalam peraturan Kapolri tersebut sama dengan asas yang menjadi unsur pokok dalam sistem kepemerintahan yang baik ( Good Governance)

–       Peraturan Kapolri tersebut sangat diperlukan oleh masyarakat ataupun anggota Polri itu sendiri, sehingga Polri tidak ada lagi keraguan dalam hal menangani tindakan-tindakan anarki sehingga Polri dapat melaksanakan tugasnya sebagai pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat.

–       Dasar Peraturan Kapolri tersebut adalah Resolusi PBB 34/169 yang secara jelas mengatur tentang Hak Asasi Manusia.

–       Setelah Peraturan Kapolri tersebut disetujui, Kapolri segera melakukan sosialisasi kepada masyarakat, tokoh-tokoh negara, kalangan akademisi sehingga Peraturan Kapolri tersebut dapat dengan segera diketahui oelh masyarakat. Hal ini sesuai dengan prinsip Good Governance : Tranparansi.

12 Instruksi Presiden SBY menyangkut penegakan hukum

1. Polri, Kejaksaan, Kementerian Keuangan, serta Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia mempercepat penuntasan kasus hukum Gayus Tambunan.

2. Tingkatkan sinergi antara penegak hukum dengan melibatkan Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan. Libatkan pula Komisi Pemberantasan korupsi untuk melakukan langkah-langkah pemeriksaan yang belum ditangani Polri.

3. Lakukan audit kinerja dan keuangan sejumlah lembaga penegak hukum yang memiliki kaitan dengan kasus Gayus. Di antaranya Polri, Kejaksaan, dan Direktorat Jenderal Pajak. Tindakan serupa pun diberlakukan pada lembaga penegak hukum yang tidak berada di bawah kendali Presiden.

4. Lakukan penegakan hukum dengan adil dan tanpa pandang bulu, termasuk 149 perusahaan yang disebut-sebut terkait skandal pajak. Jika ada bukti awal yang cukup, lakukan pemeriksaan pada perusahaan-perusahaan tersebut.

5. Lakukan metode pembuktian terbalik untuk efektivitas penegakan hukum. Metode itu harus sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku.

6. Amankan dan kembalikan uang serta aset-aset negara, termasuk perampasan uang dari hasil korupsi Gayus Tambunan.

7. Lakukan tindakan administrasi dan disiplin bagi pejabat yang jelas bersalah serta melakukan penyimpangan hukum. Beberapa tindakan di antaranya mutasi dan pencopotan pejabat negara. Presiden memberi tenggang waktu paling lambat sepekan ke depan.

8. Lakukan penataan ulang pada lembaga yang memiliki pejabat menyimpang. Sehingga, lembaga itu bersih dari penyimpangan serupa di masa mendatang. Tindakan itu paling lama sebulan ke depan.

9. Lembaga pemerintah diwajibkan melakukan peninjauan dan perbaikan serius terhadap sistem kerja serta aturan yang berpotensi memiliki lubang hukum.

10. Perkembangan kasus Gayus Tambunan dan instruksi Presiden ini wajib dilaporkan kepada Kepala Negara setiap dua pekan.

11. Perkembangan kasus Gayus pun harus transparan dan disampaikan pada masyarakat. Sehingga, masyarakat dapat mengikuti kinerja penegak hukum dan unsur pemerintah terkait.

12. Presiden menugaskan Wakil Presiden Boediono memantau dan menilai pelaksanaan ke-12 instruksi itu. Tugas Wapres itu dibantu Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum

Korupsi dan Kepala Daerah

Kasus Walikota Tomohon Jefferson Rumajar menjadi pelajaran berharga bagi demokrasi dan keadilan masyarakat Indonesia. Jefferson yang berstatus terdakwa korupsi tetap saja dilantik sebagai Walikota Tomohon. Jefferson merupakan terdakwa kasus korupsi APBD Tomohon periode 2006-2008 yang merugikan negara sekitar Rp 19,8 miliar. Namun, karena penetapan status terdakwa keluar setelah keputusan pelantikan, Jefferson tetap dilantik sebagai Walikota Tomohon. Sebelumnya Jefferson adalah calon incumbent yang berhasil memenangkan Pilkada Kota Tomohon pada Agustus 2010 dengan diusung oleh Partai Golkar. Kasus korupsi Jefferson sendiri saat ini ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menaikkan status penyelidikan kasus korupsi APBD Tomohon, Sulawesi Utara ke tahap penyidikan dan menetapkan Wali Kota Tomohon, Jefferson Rumajar, sebagai tersangka.

Johan Budi, Juru bicara KPK, menyatakan KPK telah mengantongi cukup bukti untuk menetapkan Jeferson sebagai tersangka korupsi. “Kasusnya sudah dinaikkan ke penyidikan dan Wali Kota Tomohon dengan Inisial JSMR menjadi tersangkanya,” ujar Johan kemarin.

JSMR adalah Inisial dari nama Jeferson Rumajar yang memiliki nama lengkap Jefferson Solelman Montesqiue Rumajar. Menurut Johan, dalam kasus korupsi Itu ada sebagian dana APBD Tomohon yang digunakan untuk kepentingan pribadi Jefferson Rumajar

Melihat maraknya kasus korupsi di Indonesia yang melibatkan para petinggi negara mengingatkan akan “guyonan” seorang guru besar Prof. Gulardi Wikyokusastro ahli kandungan dan kebidanan dimana ia mengatakan “bahwa barangkali memang ada gen gemar korupsi yang dimiliki warga Indonesia”

Dalam kasus Walikota Tomohon memang tidak ada UU yang dilanggar karena sebagaimana tercantum dalam UU No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, seorang Kepala Daerah baru dapat dihentikan ketika telah dijatuhi hukuman pidana yang berkekuatan hukum tetap sehingga apabila Jefferson tidak dilantik malah melanggar hukum.

Kasus tersebut merupakan pelajaran berharga bagi pemerintah dan DPR sehingga ke depan tidak ada lagi celah bagi para pejabat koruptor dengan membuat produk Undang-Undang yang benar-benar dapat menjerat para pelaku koruptor.

Kapolri paparkan hasil kinerja POLRI selama tahun 2010

Pada tanggal 29 Desember 2010 di Jakarta, Kapolri Jenderal Polisi Timur Pradopo menyampaikan hasil kerja Polri dan situasi kamtibmas selama tahun 2010. Dalam penyampaian tersebut Kapolri menyampaikan beberapa bidang yang menyangkut tugas-tugas Kepolisian serta hasil yang dicapai selama tahun 2010 dibandingkan dengan tahun 2009. Adapun bidang-bidang tersebut antara lain :

PELANGGARAN LALU LINTAS

  • Pada tahun 2009 terjadi 5.814.386 kasus pelanggaran lalu lintas dan terjadi penurunan yang sangat signifikan pada tahun 2010 dimana terjadi 3.114.970 kasus pelanggaran lalu lintas. Dalam kurun waktu 1 tahun dapat ditekan 2.699.416 kasus pelanggaran lalu lintas atau sebesar 46,42 % di tahun 2010.

KECELAKAAN LALU LINTAS

  • Pada tahun 2009 terjadi 57.726 kasus kecelakaan lalu lintas dan terjadi peningkatan pada tahun 2010 menjadi 61.606 kasus kecelakaan lalu lintas ATAU MENINGKAT 6,72 % di tahun 2010. Dari kecelakaan tersebut terdapat korban luka ringan 30.794 orang, luka berat 13.600 orang dan korban meninggal dunia 10.349 orang.

PENYELIDIKAN DAN PENYIDIKAN PERKARA PIDANA

  • Pada tahun 2009 Polri menangani 344.942 perkara pidana dengan penyelesaian perkara sebesar 65 %, sedangkan di tahun 2010 mengalami penurunan dimana Polri menangani 274.999 perkara pidana dengan penyelesaian perkara 150.184 perkara pidana atau hanya 55 %. Hal ini juga diakui oleh Kapolri bahwa penyelidikan dan penyidikan perkara oleh Polri masih kurang maksimal.

PENYELESAIAN PERKARA KORUPSI

  • Pada tahun 2009 Polri menangani 427 perkara korupsi dengan penyelesaian perkara sebesar 48 %. Di tahun 2010 Polri menangani 277 perkara korupsi dimana terjadi penurunan sebesar 35,12 % dibandingkan dengan tahun 2009. Namun penyelesaian perkara korupsi di tahun 2010 meningkat menjadi 83 %.